[Artikel di bawah adalah di dalam Bahasa Indonesia.]
“Sebenarnya aku tidak yakin, yang kita butuhkan itu sebenarnya tempat yang tetap, sebuah rumah, atau sebuah ruang kecil, dimanapun itu, tempat kita bisa menaruh komputer dan data-data kita?” kata Wimo Ambala Bayang.
Tahun ini genap satu tahun Ruang Mes 56 di Yogyakarta kehilangan ruangan tempatnya beraktivitas selama ini. Pengelola rumah yang baru tidak mau lagi menyewakan ruangannya untuk mereka, dan tidak ada jalan lain. Mereka harus pindah. Dan mereka tidak punya cukup uang untuk menyewa sebuah ruang baru. Yang bisa mereka lakukan adalah menitipkan semua barang dan properti ke rumah seorang teman.
Bagi beberapa orang, pembicaraan mengenai ruang alternatif mungkin akan tampak membosankan. Membosankan karena semua orang sepertinya sudah tahu seluk beluk persoalan tentang ruang alternatif ini, permasalahan yang dihadapi, apa kemungkinan jalan keluarnya, seolah seperti tidak ada lagi yang tersisa untuk dibicarakan. Tapi toh kenyataan sepanjang masa menunjukkan gerak hidup ruang alternatif yang tidak pernah berhenti di Indonesia.
Pada tahun 1970an, rumah tempat lahirnya Ruang MES 56 adalah asrama milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dimana sebagian besar penghuninya adalah anggota AURI yang sudah berkeluarga. Asrama itu sendiri terbagi atas tiga ruang yaitu ruang luar, ruang dalam dan ruang belakang. Tahun 1993 adalah pertama kalinya asrama itu menerima tiga orang mahasiswa seni untuk menyewa ruangan di sana. Sejak saat itu hampir tiap hari asrama itu akhirnya menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa ISi Yogyakarta jurusan fotografi. Pada tahun 1997 mereka mulai merintis pengadaan pameran fotografi di lorong kecil menuju asrama itu dengan memamerkan hasil karya mereka sendiri. Dan sejak tahun 2002, mereka mulai resmi membentuk struktur yang lebih formal atas ruang alternatif mereka dengan nama Ruang Mes 56. Beberapa tahun sebelum akhirnya membentuk struktur resminya, komunitas asrama ini membuat pameran bertajuk “Revolusi #9” – dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, pada tahun 1999 – yang selanjutnya akan dikenang publik Indonesia sebagai pameran yang memberikan pemaknaan baru atas karya fotografi yang selama ini melekat di kepala banyak orang. Para anggota komunitas itu sendiri juga aktif berpameran secara tunggal di tempat yang berbeda-beda dan membawa suara visual fotografi yang berbeda.
Pada tahun 2002, saat menjadi organisasi yang formal, banyak dari generasi pertama komunitas ini sudah lulus dan pindah ke kota lain untuk bekerja. Yang tercantum namanya di struktur organisasi formal sebagai pendiri Ruang Mes 56 sekarang pada dasarnya mewakili tiga generasi mahasiswa atau alumni jurusan fotografi ISi Yogyakarta: Angki Purbandono, Eko Bhirowo, Wimo Ambala Bayang, Akiq AW, Nunung Prasetya, Jim Allen Abel, Agung Nugroho Widhi, Edwin Rooseno, Anang Saptoto. Yang termuda berasal dari angkatan 2002. Mulai tahun itu juga, mereka mulai membuat rancangan program yang lebih rapi: pameran, workshop, dan residensi.
Saat yang sulit
Wimo melanjutkan dengan mengatakan bahwa jika merefleksikan kembali keadaan dulu, ketika Ruang Mes 56 masih mempunyai ruang dan keadaannya yang sekarang, ia lebih cenderung berpikir bahwa Ruang Mes 56 pun sebetulnya bisa tetap ada dengan menganut ideologi “sebuah ruang alternatif yang bergerak”. Menurutnya, bahkan kalau sebuah ruang alternatif itu mempunyai ruang tetap pun, persoalan masih akan tetap ada. Sekalipun semua orang dalam ruang alternatif itu selalu nongkrong bersama-sama, selalu banyak punya kesempatan untuk berbicara, ada sarana komunikasi, tidak berarti menjadi jaminan jalannya sebuah organisasi dengan baik. Asalkan tetap ada kegiatan rutin untuk menjaga komunitas Ruang Mes 56. ltu yang penting.
‘Tapi memang, ketiadaan ruang membuat gerak kami jadi sedikit lebih sulit,” kata Wimo. “Tidak ada tempat berkumpul yang jelas. Semua orang seperti bergerak sendiri. Satu tahun terakhir ini saat yang sulit bagi kami.”
Kemudian saya bertanya, “Jika demikian problemnya ada pada ketiadaan fungsi penjaga semangat kelompok? Apakah karena tidak ada satu figur yang menggerakkan semangat kerja dalam kelompok kalian?”
“Mungkin juga,” kata Akiq AW, anggota Ruang Mes 56 yang lain. “Tapi sebetulnya susah juga untuk menerapkan aturan-aturan yang ketat kepada anggota Ruang Mes 56. Karena ini bukan jenis pekerjaan yang kami bisa memberi gaji setiap bulan kepada para anggota. Semua orang punya tanggungjawab sendiri-sendiri untuk menghidupi dirinya sendiri. Itu persoalan pelik lain bagi kami. Ada harapan untuk melanjutkan daya hidup organisasi, sementara ada tuntutan untuk terus bekerja memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari.”
Sampai di sini pembicaraan bergulir kepada apa alasan utama yang mendasari seseorang bergabung kepada sebuah ruang alternatif. Wimo mengatakan bahwa ia bergabung dengan Ruang Mes 56 karena ia ingin mempunyai galeri sendiri. Sebuah ruang pamer yang khusus bagi fotografi adalah sesuatu yang masih langka di Indonesia. “Dan waktu itu Ruang Mes 56 sudah berinisiatif menjadikan ruang tempat kami tinggal sebagai galeri, ada selera fotografi tertentu yang sudah terbentuk pada diri kami, dan juga kami sudah mempunyai komunitas sendiri. Itu adalah syarat-syarat yang sudah cukup untuk membentuk ruang alternatif sendiri dan untuk menarik anggota-anggota baru.”
Meski begitu sebenarnya masih tetap ada keraguan apakah benar para anggota yang baru bergabung memiliki alasan sekuat alasan bergabung para seniornya beberapa tahun lalu. Wimo misalnya mengatakan bahwa mungkin saja beberapa orang bergabung dengan Ruang Mes 56 hanya karena alasan ingin dianggap keren. Tapi sebenarnya bagus juga kalau lembaga kita dianggap keren, kata Wimo, karena ini bisa dijadikan modal untuk merekrut banyak orang sebagai tim kerja atau sebagai peserta kegiatan.
Semua tinggal di lingkungan yang sama
Pengalaman mengelola sebuah ruang alternatif dan tinggal bersama dengan penghuni asrama mes AURI selama 13 tahun (1993 – 2005) pada akhirnya juga memperkaya pemahaman anggota komunitas atas keberagaman konflik dan peka terhadap kemungkinan terjadinya konflik sekaligus cara pengelolaannya.
Ruang Mes 56 menyewa sebuah kamar yang dipergunakan sebagai kantor (beberapa anggota komunitas Ruang Mes 56 juga menyewa kamar-kamar lain sebagai tempat tinggal). Atas kebaikan hati pemilik rumah yang lama, mereka diperbolehkan mempergunakan ruang tamu sebagai ruang pamer. Tetapi ada saat-saat dimana mereka harus selalu menjelaskan kepada pemilik rumah tentang mengapa listrik harus terus menyala di siang hari untuk keperluan pengunjung pameran yang datang, sementara si pemilik rumah ngotot bahwa siang hari listrik harus dipadamkan supaya hemat. Belum lagi konflik yang rutin terjadi jika mereka terlambat membayar uang sewa ruangan dan bayar listrik setiap bulan.
Penghuni asrama mes AURI tersebut sangat beragam mulai dari mahasiswa, penyanyi dangdut, pegawai karaoke, pensiunan AURI, pensiunan lain yang pekerjaannya berjudi setiap hari, sampai pemilik toko kelontong. Keberagaman tersebut membuat komunitas Ruang Mes 56 ini sejak awal kehadirannya merasa perlu menjelaskan aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan.
“Kami perlu menjelaskan pameran-pameran yang kami lakukan,” kata Angki Purbandono, “mungkin sedikit menerangkan tema dari karya-karya yang kami pamerkan, supaya mereka paham apa yang kami lakukan. Dalam hal yang kecil, kami misalnya meminta bantuan para pemuda kampung untuk ikut menjaga keamanan kendaraan para pengunjung pameran. Supaya mereka juga merasa ikut dilibatkan dan memiliki kegiatan ini, karena kami semua tinggal di lingkungan yang sama.” Tapi toh konflik kadang tetap terjadi, dan bisa dipicu dari bermacam-macam hal misalnya suara musik yang diputar terlalu kencang, teman-teman mabuk yang datang saat pembukaan dan berakhir menjadi perkelahian, atau para tetangga yang protes karena lingkungan sekitar asrama jadi kotor setiap kali selesai pembukaan pameran.
Pertentangan ideologi dalam praktek fotografi yang dijalankan oleh Ruang Mes 56 juga datang dari mahasiswa fotografi di ISi yang lain, atau dari kalangan fotografi lain baik di Yogyakarta maupun di kota-kota lain. “ltu bagian dari konflik yang menurut kami menarik dan untuk dihadapi,” kata Angki lagi.
Dalam diri lembaganya sendiri, Ruang Mes 56 juga harus menghadapi persoalan lain berkaitan dengan para anggota sendiri, bagaimana untuk menjaga supaya mereka tetap menaruh perhatian dan memikirkan perkembangan lembaga di sela-sela aktivitas-aktivitas pribadi yang beragam. Salah satu cara yang diterapkan untuk mengatasi persoalan ini adalah dengan memberi kepercayaan melaksanakan suatu program kepada para anggota.
Ruang tempat menonton film bersama-sama
Pada Agustus 2005, berdiri sebuah ruang alternatif baru di Yogyakarta. Namanya Kinoki. Kinoki dibuat atas dasar cita-cita lama beberapa pendirinya untuk mempunyai sebuah ruang tempat menonton film bersama-sama. Sebuah ruang bagi film-film yang non-mainstream dan alternatif. Program utama Kinoki adalah pemutaran film dan residensi internasional bagi seniman video yang ingin tinggal dan berkarya tentang Indonesia. Kinoki baru akan merintis program residensi internasionalnya tahun ini. Kegiatan Kinoki terbaru bulan ini adalah pemutaran kompilasi film pendek Jerman dan Yogyakarta.
Kinoki menempati sebuah bangunan tua di Jalan Tirtodipuran, salah satu titik tempat pusat kegiatan turis di kota ini. Bangunan itu sendiri terbagi atas dua ruang, yaitu studio tempat pemutaran film dan sebuah kedai kopi. Kedai kopi ini memang ditujukan sebagai kegiatan ekonomi yang menyokong kegiatan idealis Kinoki di bidang film.
“Tetapi memang selama ini kedai kopi yang kami miliki belum bisa menyokong semua kegiatan Kinoki. Kami semua yang aktif di tempat ini tidak hidup dari Kinoki,” kata Elida Tamalagi, salah satu pendiri Kinoki. Elida sendiri berprofesi sebagai penerjemah lepas. Yang lain berprofesi sebagai pekerja kafe, bekerja di LSM, dan di perusahaan iklan.
Untuk menjaga stamina Kinoki, yang dilakukan akhirnya adalah semua yang aktif di lembaga tersebut menyumbangkan sebagian penghasilan mereka untuk menghidupi lembaga. Strategi yang sama juga dilakukan oleh Ruang Mes 56.
Ruang Mes 56 sendiri sebenarnya telah berusaha menerapkan berbagai strategi untuk menggerakkan sektor ekonomi untuk menyokong hidup lembaga mulai dari menawarkan stok-stok foto bagi majalah visual arts, membuat aturan pemotongan 10% dari fee total yang didapatkan para anggota dari kerja-kerja mereka. Tapi toh kadang itu tidak berhasil.
Baiklah. Kinoki di usianya yang muda masih akan tetap berjalan dengan rencana dan impiannya. Ruang Mes 56 sedang akan bersiap menempati rumah baru. Sebuah rumah yang didapat dari pinjaman seorang teman. Masalah baru jelas masih akan ada. Tetapi paling tidak saat ini satu persoalan sudah teratasi.
Ideologi yang dibangun dengan lebih baik
Awal 2005, Yayasan Seni Cemeti merintis sebuah forum dialog bagi ruang alternatif di Indonesia yang dinamakan sebagai Antar Kota Antar Propinsi (AKAP). Ruang alternatif yang berpartisipasi dalam AKAP beragam mulai dari ruang alternatif bidang seni rupa semacam Ruang Mes 56 (Yogyakarta), Komunitas Seni Belanak (Padang), media musik/life style seperti Ripple (Bandung), media kajian budaya seperti Kunci cultural studies center (Yogyakarta), lembaga yang bergerak untuk mengkaji fotografi dan etnografi seperti Etnoreflika (Yogyakarta), lembaga yang bergerak untuk pemutaran film alternatif seperti Minikino (Denpasar), atau lembaga yang bergerak untuk dokumentasi dan studi film macam Rumah Sinema (Yogyakarta).
AKAP dimulai dari sebuah forum workshop tempat para peserta saling berbagi pengetahuan tentang pengelolaan organisasi yang berbasis pada pengalaman sendiri, bukan manajemen dalam pengertian pengelolaan perusahaan komersial, melainkan sebuah metode surviving ala ruang alternatif. Suatu perhatian yang menurut saya menandai satu hal baru dalam kehidupan ruang alternatif di beberapa kota di Indonesia. Bukan pada gairah membuat ruang alternatif, tapi kepedulian untuk mengelola organisasi termasuk mengelola ideologi yang dibangun dengan lebih baik.
Sebuah forum dialog antar ruang alternatif yang lebih spesifik bergerak dalam seni rupa bernama Gulali muncul pada hampir ujung 2005. Gulali berbentuk forum online dimana para anggota bisa bertukar pendapat atau menulis esai pengalamannya mengelola ruang alternatif untuk seni rupa.
Persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam AKAP dan Gulali pada dasarnya sama dengan pokok-pokok pembicaraan yang disampaikan oleh Ruang Mes 56 dan Kinoki diatas: persoalan ideologi lembaga, capacity building sumber daya manusia, daya tahan, surviving, conflict management, networking.
Nilai penting dari forum semacam ini bagi ruang-ruang alternatif sendiri masih perlu diuji. Tapi saya sendiri menaruh harapan. Karena saya percaya kepada kekuatan ruang alternatif. Karena dalam banyak hal seringkali kita dapati kenyataan bahwa upaya pembaruan gerakan kebudayaan, upaya pemberdayaan masyarakat, demokratisasi dalam kerangka luas, seringkali tidak dimulai dari dinding-dinding institusi yang formal, melainkan berasal dari inisiatif masyarakat sendiri, dari ruang-ruang alternatif.
~~~
Nuraini Juliastuti bekerja untuk Kunci Cultural Studies Centre, Yogyakarta.
First Published: 21.02.2006 on Kakiseni